Selasa, 09 Desember 2014

PENCEMARAN AIR KALI SURABAYA OLEH LIMBAH ( PT SIDOMAKMUR DAN PT SIDOMULYO )

MAKALAH PENDIDIKAN PANCASILA
“PENCEMARAN AIR KALI SURABAYA OLEH LIMBAH                                    ( PT SIDOMAKMUR DAN PT SIDOMULYO )”
Logo Unri.png
DISUSUN
O
L
E
H

NURUL AIN FARHANA
(1303144884)


JURUSAN MATEMATIKA
FAKULTAS MATEMATIKAN DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
2014



KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan rahmat-Nya sehingga pada kesempatan ini saya masih diberi kesehatan untuk menulis sebuah makalah untuk memenuhi tugas pancasila tentang pancasila dalam era globalisasi tentang kasus pencemaran limbah di Kali Surabaya.
Makalah ini saya tujukan terutama buat dosen matakuliah Pancasila yakni Bapak Separen, S.Pd., MH, dan buat pembaca semuanya. Dalam makalah ini saya membahas mengenai masalah-masalah pencemaran limbah di Kali Surabaya. Dari pengertian lingkungan hidup, penegakan hukum lingkungan hidup, penyebab terjadinya pencemaran di Kali Surabaya, salah satu kasus pencemaran limbah tahu di Kali Surabaya, hingga solusi mengatasi pencemaran tersebut.
Demikianlah yang dapat saya sampaikan, semoga makalah ini bermanfaat dan jika terdapat kekurangan saya menerima kritik dan saran dari pembaca guna kesempurnaan makalah ini. Walaupun kesempurnaan itu hanya milik Tuhan.









Pekanbaru, 07 Desember 2014


Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .........................................................................       ii
DAFTAR ISI..........................................................................................       iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang......................................................................                   1
1.2  Perumusan Masalah..............................................................       2
1.3  Tujuan....................................................................................       2
1.4  Manfaat Penulisan.................................................................      2
BAB II PEMBAHASAN
2.1  Pengertian Lingkungan Hidup............................................       3
2.2  Penegakan Hukum Lingkungan Hidup.............................        3
2.3  Penyebab Terjadinya Pencemaran di Kali Surabaya.......        6
2.4  Kasus Pencemaran Limbah Tahu di Kali Surabaya.........       7
2.5  Penyelesaian Pada Kasus di Kali Surabaya.......................        13
BAB III PENUTUP
3.1  Kesimpulan...........................................................................        18
3.2  Saran ....................................................................................        18
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................        19












BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Kegiatan pembangunan yang makin meningkat mengandung resiko. Makin meningkatnya resiko makin meningkat pencemaran dan perusakan lingkungan, termasuk oleh limbah Bahan Berbahaya Beracun (B3), sehingga struktur dan fungsi ekosistem yang menjadi penunjang kehidupan dapat rusak. Pencemaran dan perusakan lingkungan hidup akan menjadi beban sosial, yang pada akhirnya masyarakat dan pemerintah harus menanggung biaya pemulihannya[1].
Limbah adalah sisa suatu usaha dan/ kegiatan[2]. Limbah adalah buangan yang dihasilkan dari suatu proses produksi baik industri maupun domestik (rumah tangga), yang kehadirannya pada suatu saat dan tempat tertentu tidak dikehendaki lingkungan karena tidak memiliki nilai ekonomis. Bila ditinjau secara kimiawi, limbah ini terdiri dari bahan kimia organik dan anorganik. Dengan konsentrasi dan kuantitas tertentu, kehadiran limbah dapat berdampak negatif terhadap lingkungan terutama bagi kesehatan manusia, sehingga perlu dilakukan penanganan terhadap limbah. Tingkat bahaya keracunan yang ditimbulkan oleh limbah tergantung pada jenis dan karakteristik limbah.
Menyadari hal di atas, bahan berbahaya dan beracun beserta limbahnya harus dikelola dengan baik. Makin meningkatnya kegiatan pembangunan, dalam hal ini pabrik-pabrik atau indutri-industri menyebabkan meningkatnya dampak kegiatan tersebut terhadap lingkungan hidup, keadaan ini makin mendorong diperlukannya upaya pengendalian dampaknya, sehingga resiko terhadap lingkungan dapat ditekan sekecil mungkin.
Upaya pengendalian dampak terhadap lingkungan sangat ditentukan oleh pengawasan terhadap ditaatinya ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur segi-segi lingkungan hidup, sebagai perangkat hukum yang bersifat preventif melalui proses perizinan untuk melakukan usaha dan atau kegiatan. Oleh karena itu dalam setiap izin yang diterbitkan, harus dicantumkan secara tegas syarat dan kewajiban yang harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh penanggung jawab usaha atau kegiatan tersebut.

1.2  Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, tulisan ini secara khusus akan membahas permasalahan :
1.      Apa yang dimaksud dengan lingkungan hidup?
2.      Apa saja penegakan hukum lingkungan hidup?
3.      Apa yang menyebabkan tercemarnya Kali Surabaya?
4.      Apa contoh tentang pencemaran Kali Surabaya?
5.      Manakah yang sesuai studi kasus Kali Surabaya dengan solusi penegakan Hukum Lingkungan Hidup?


1.3  Tujuan
Tujuan dari di susunnya makalah ini dengan judul “Pencemaran Air Kali Surabaya oleh Limbah (PT Sidomakmur dan PT Sidomulyo)” adalah untuk melengkapi tugas matakuliah Pendidikan Pancasila tentang Pancasila dalam era globalisasi.

1.4  Manfaat Penulisan
Adapun manfaat dari penyusunan makalah yang berjudul “Pencemaran Air Kali Surabaya oleh Limbah (PT Sidomakmur dan PT Sidomulyo)” ini adalah menambah wawasan para pembaca, terutama untuk penulisnya sendiri dan para mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu pengetahuan Alam Jurusan Matematika Universitas Riau mengenai  masalah lingkungan hidup yang terjadi di Kali Surabaya.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Pengertian Lingkunga Hidup
Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain[3].
Selanjutnya kita akan membahas definsi dari pencemaran. Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pencemaran adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan[4].
Makna dari perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.

2.2  Penegakan Hukum Lingkungan Hidup
Penegakan hukum mempunyai makna, bagaimana hukum itu harus dilaksanakan, sehingga dalam penegakan hukum tersebut harus diperhatikan unsur-unsur kepastian hukum. Kepastian hukum menghendaki bagaimana hukum dilaksanakan, tanpa perduli bagaimana pahitnya (fiat jutitia et pereat mundus; meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan). Hal ini dimaksudkan agar tercipta ketertiban dalam masyrakat.sebaliknya masyarakat menghendaki adannya manfaat dalam pelaksanaan peraturan atau penegakan hukum lingkungan tersebut. Hukum lingkungan dibuat dengan tujuan untuk melindungi lingkungan dan memberi manfaat kepada masyarakat. Artinya peraturan tersebut dibuat adalah untuk kepentingan masyarakat, sehingga jangan sampai terjadi bahwa, karena dilaksanakannya peraturan tersebut, masyarakat justru menjadi resah. Unsur ketiga adalah keadilan.
Dalam penegakan hukum lingkungan harus diperhatikan, namun demikian hukum tidak identik dengan keadilan, karena hukum itu sifatnya umum, mengikat semua orang, dan menyamaratakan. Dalam penataan dan penegakan hukum lingkungan, unsur kepastian, unsur kemanfaatan, dan unsur keadilan harus dikompromikan, ketiganya harus mendapat perhatian secara proporsional. Sehingga lingkungan yang tercemar dapat dipulihkan kembali[5].
Penegakan hukum lingkungan berkaitan erat dengan kemampuan aparatur dan kepatuhan warga masyarakat terhadap peraturan yang berlaku, yang meliputi tiga bidang hukum, yaitu administratif, pidana, dan perdata[6]. Berikut adalah sarana penegakan hukum:
1.      Administratif[7].
Sarana administrasi dapat bersifat preventif dan bertujuan menegakkan peraturan perundang-undangan lingkungan. Penegakan hukum dapat diterapkan terhadap kegiatan yang menyangkut persyaratan perizinan, baku mutu lingkungan, rencana pengelolaan lingkungan (RKL), dan sebagainya. Disamping pembinaan berupa petunjuk dan panduan serta pengawasan administratif, kepada pengusaha di bidang industri, hendaknya juga ditanamkan manfaat konsep “Pollution Prevention Pays” dalam proses produksinya.
Penindakan represif oleh penguasa terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan lingkungan administratif pada dasarnya bertujuan untuk mengakhiri secara langsung pelanggaran-pelanggaran tersebut.
Sanksi administratif terutama mempunyai fungsi instrumental, yaitu pengendalian perbuatan terlarang. Disamping itu, sanksi administratif terutama ditujukan kepada perlindungan kepentingan yang dijaga oleh ketentuan yang dilanggar tersebut. Beberapa jenis sarana penegakkan hukum administrasi adalah :
a.       Paksaan pemerintah atau tindakan paksa;
b.      Uang paksa;
c.       Penutupan tempat usaha;
d.      Penghentian kegiatan mesin perusahaan;
e.       Pencabutan izin melalui proses teguran, paksaan pemerintah, penutupan, dan uang paksa.

2.      Kepidanaan[8]
Tata cara penindakannya tunduk pada undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Peranan Penyidik sangat penting, karena berfungsi mengumpulkan bahan/alat bukti yang seringkali bersifat ilmiah. Dalam kasus perusakan dan/atau pencemaran lingkungan terdapat kesulitan bagi aparat penyidik untuk menyediakan alat bukti yang sah sesuai ketentuan Pasal 183 dan Pasal 184 KUHAP. Selain itu, pembuktian unsur hubungan kausal merupakan kendala tersendiri mengingat terjadinya pencemaran seringkali secara kumulatif, sehingga untuk membuktikan sumber pencemaran yang bersifat kimiawi sangat sulit. Penindakan atau pengenaan sanksi pidana adalah merupakan upaya terakhir setelah sanksi administratif dan perdata diterapkan.
3.      Keperdataan[9]
Mengenai hal ini perlu dibedakan antara penerapan hukum perdata oleh instansi yang berwenang melaksanakan kebijaksaan lingkungan dan penerapan hukum perdata untuk memaksakan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan lingkungan. Misalnya, penguasa dapat menetapkan persyaratan perlindungan lingkungan terhadap penjualan atau pemberian hak membuka tanah atas sebidang tanah. Selain itu, terdapat kemungkinan “beracara singkat” bagi pihak ketiga yang berkepetingan untuk menggugat kepatuhan terhadap undang-undang dan permohonan agar terhadap larangan atau keharusan dikaitkan dengan uang paksa. Penegakan hukum perdata ini dapat berupa gugatan ganti kerugian dan biaya pemulihan lingkungan.

2.3  Penyebab Terjadinya Pencemara Kali Surabaya
Kali Surabaya sepanjang +50 km merupakan cabang dari Kali Brantas yang airnya digunakan untuk berbagaimaca keperluan termasuk:
1.      Air baku instalasi pengolahan air bersih di Ngagel yang digunakan untuk kepentingan penduduk kota Surabaya,
2.      Irigasi untuk sebagian daerah sistem delta Brantas,
3.      Industri-industri yang berada di Surabya dan sepanjang Kali Surabaya yang berada di wilayah Kabupaten Gresik,
4.      Perikanan tambak yang penyaluran airnya melalui kanal-kanal irigasi,
5.      Penggolontoran dan pengeceran ir buangan yang berada dalam saluran-saluran drainase Kota Surabaya,
6.      Pembawa buangan-buangan industri dan rumah tangga menuju ke Laut.
Keanekaragaman kegunaan air Kali Surabaya yang satu sama lain bertolak belakang sangat jelas terlihat disatu pihak air digunakan untuk kelangsungan hidup manusia, di lain pihak air pada saat yang sama sebagai saluran tempat membuang air kotor dari industri dan rumah tangga. Oleh karena itu kesehatan penduduk kota Surabaya dan instalasi pengolahan air bersihnya dalam keadaan terancam oleh buruknya kualitas air Kali Surabaya dan cabang-cabangnya akibat pencemaran limbah.
Dengan bertambah kuatnya tekanan untuk mengembangkan industri serta bertambahnya penduduk disepanjang Kali Surabaya maka perlu tindakan yang cepat dan tepat untuk mengendalikan kualitas air Kali Surabaya (Kali Surabaya Polution Control Study, Ditjen Cipta Karya Dep. PU. 1985).
Disekitaran Kali Surabaya juga terdapat banyak sekali pabrik-pabrik. Melihat jumlah pabrik yang di sepanjang Kali Surabaya (sekitar 200 buah) tentu saja limbah yang dihasilkannya juga besar. Limbah ini dapat berupa bahan organik dan bahan anorganik. Pabrik yang dapat mengeluarkan limbah organik adalah pabrik bumbu masak (Mi-won, Ajinomoto), pabrik minyak makan (Princolin, Bawang Berlian, dan lain-lain), pabrik detergent (joyoboyo, dan lain-lain), yang juga menghasilkan limbah fosfat dan sulfat, pabrik kertas (Surya Kertas, Mekabox, dan Supamra), pabrik kulit (PT HAKKA), pabrik teh, pabrik makanan ternak, pabrik tahu, dan lain-lain.
Pabrik yang dapat menegeluarkan limbah anorganik adalah pabrik pipa besi, pabrik kawat besi, pabrik paku dan sekrup, pabrik-pabrik ini menghasilkan endapan Fe(OH)2 dan Fe(OH)3 serta Zn(OH)2 dan juga Fe(Cl)3 dan Cl ion.
Pabrik sepeda dan onderdil-onderdilnya dapat mengeluarkan limbah cair yang mengandung Cr ion, Cd ion, Cu ion, Ni ion, Zn ion, yang amat sangat berbahaya bagi kesehatan manusia, karena ion-ion logam tersebut sangat bersifat racun pada konsentrasi tertentu.
Selain limbah pabrik, ada juga limbah dari kegiatan pertanian yang mencemari Kali Surabaya. Limbah tersebut berupa pupuk kandang, pupuk urea, pupuk tri super phosphat, pupuk ZA, serta insektisida. Pupuk dan insektisida ini dapat dibawa air irigasi dan masuk kembali kesungai. Pupuk-pupuk tersebut akan memacu pertumbuhan mikroba, algae, plankton, enceng gondok, kangkung, dan tumbuh-tumbuhan air lainnya di Kali Surabaya.
2.4  Kasus Pencemaran Limbah Tahu di Kali  Surabaya
Ada bebarapa banyak penyebab tercemarnya Kali Surabaya, namun pada makalah ini akan dibahas mengenai limbah tahu yang menjadi penyebab tercemarnya Kali Surabaya.
Perkara ini diajukan oleh jaksa penuntut umum sebagai delik lingkungan, yaitu pencemaran air Kali Surabaya akibat limbah tahu dan limbah kotoran babi oleh terdakwa Bambang Goenawan, direktur PT Sidomakmur dan PT Sidomulyo serta diputus PN Sidoarjo tanggal 6 Mei 1989 Nomor: 122/pid/1989/PN.Sda.
Duduk perkaranya menurut Surat Dkwaan Jaksa Penuntut Umum tertanggal 6 November 1988, primer dan subsider sebagai berikut: terdakwa Bambang Geonawan alias Oei Ling Gwat, lahir di Surabaya, umur 48 tahun, jenis kelamin laki-laki, kebnagsaan Indonesia, keturunan Cina, tempat tinggal Jl. Ngagel No. 125-127 Surabaya, agama Katolik, pekerjaan Direktur PT Sidomakmur dan PT Sidomulyo dihadapkan ke pengadilan PN Sidoarjo dengan dakwaan bahwa antara bulan Maret 1986-Juli 1988, di perusahaan PT Sidomakmur dan PT Sidomulyo yang terletak di Desa Sidomulyo, Kecamatan Krian, Kabupaten Sidoarjo, telah terjadi perbuatan yang menyebabkan rusaknya lingkungan hidup atau tercemarnya dengan cara terdakwa sebagai pengusaha PT Sidomakmur yang memproduksi tahu, membuang air limbahnya ke Kali Surabaya yang mengandung BOD 3095,4 mg/l dan mengandung COD 12293 mg/l dan juga sebagai pengusaha PT Sidomulyo yang berupa perternakan babi membuang limbah kotoran babi ke Kali Surabaya yang mengandung BOD 426,3 mg/l dan COD 1802,9 mg/l sebagaimana hasil pemeriksaan air limbah yang dilakukan oleh Balai Teknik Kesehatan Lingkungan tanggal 20 Juli 1988 No.261/Pem/BTKL.Pa/VII/1988. Kandungan limbah tersebut melebihi ambang batas yang ditetapkan SK Gubernur Jawa Timur No. 43 Tahun 1978, yaitu maksimum BOD 30 mg/l dan COD 80 mg/l.
Terdakwa sebagai pengusaha PT Sidomakmur dan PT Sidomulyo telah membuat instalasi (septitank) yang tidak memenuhi daya tampung limbah kedua perusahaan tersebut, sehngga air limbah/kotoran melebur keluar dan mengalir ke Kali Surabaya. Pembuangan air limbah tersebut, menyebabkan menurunnya kualitas air Kali Surabaya dan menyebabkan air kekurangan oksigen yang berakibat matinya kehidupan dalam air serta sangat sukar untuk diolah menjadi air bersih untuk bahan baku PDAM.
Melanggar       : Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 dengan unsur-unsur:
a.       Barang siapa;
b.      Dengan sengaja;
c.       Melakukan perbuatan yang menyebabkan rusaknya lingkungan hidup.
Subsider         : Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 dengan    unsur-unsur:
a.       Barang siapa;
b.      Karena kelalaiannya;
c.       Melakukan perbuatan yang menyebabkan rusaknya lingkungan hidup atau tercemarnya lingkungan hidup.
Pada tanggal 23 Februari 1989, tuntutan pidana dibacakan, pada pokoknya berbunyi:
Menyatakan Terdakwa Bambang Goenawan bersalah karena kelalaiannya, melakukan perbuatan menyebabkan tercemarnya lingkungan hidup Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 (dakwaan subsider).
Menjatuhkan pidana terhadap Bambang Geonawan selama 6 (enam) bulan dalam masa percobaan 1 (satu) tahun dan denda Rp1.000.000,00 subsider 2 (dua) bulan kurungan;
Menetapkan agar terdakwa membayar biaya sebesar Rp2.500,00
Pledoi penasehat hukum dibacakan tanggal 11 Maret 1989, dengan kesimpulan:
1.      Menolak dakwaan dan tuntutan Penuntut Umum yang menyatakan bahwa terdakwa bersalah melakukan perbuatan kelalaian sebagaimana dimaksud pada tuntutannya (tanggal 23 Februari 1989).
2.      Menyatakan batal demi hukum dakwaan sehingga melanggar Pasal 143 (1) KUHAP atau menyatakan dakwaan Jaksa kurang cukup bukti dan tidak beralasan, menurut hukum harus ditolak.
3.      Menyatakan dakwaan Bambang Goenawan tidak bersalah melakukan perbutan pidana sebagaimana yang didakwakan dan karena itu membebaskannya dari segala tuduhan hukum atau melepaskan dari segala tuduhan hukum atau melepaskan dari segala tuntutan hukum (vide Pasal 191 KUHP).
4.      Menyatakan untuk merehabilitasi nama baik terdakwa di mata umum (vide Pasal 97 KUHP).
5.      Membebankan biaya perkara ini pada negara.
Dalam pemeriksaan terhadap Rochim Kepalan Dinas Perikanan Kabupaten Sidoarjo, diperoleh keterangan bahwa: ditemukan adanya sejumlah ikan yang mengembang di permukaan air Kali Surabaya, tetapi tidak dapat dipastikan apakah ikan yang mengembang di permukaan air Kali Surabaya itu sebagai akibat dari tercemarnya Kali Surabaya yang disebabkan oleh limbah tahu industri yang dibuang terdakwa ke kali tersebut. Selain bnayak faktor yang menyebabkan ikan bisa mati lemas, juga mengingat banyaknya perusahaan lain yang membuang limbahnya ke Kali Surabaya.
Saksi Soekarsono Dirdja Sukarta, B.A. Pejabat PDAM Surabya menyatakan bahwa: pernah kadar kimia air Kali Surabya yang diolah menjadi air minum sangat tinggi, sehingga PDAM harus mengeluarkan biaya tinggi untuk menormalkan kembalikadar air tersebut, namun tidak dapat dipastikan kalau kejadian itu disebabkan oleh limbah tahu yang dibuang terdakwa ke Kali Surabaya, yang pasti, kejadian itu akibat dari tercemarnya Kali Surabaya, yang pasti kejadian itu akibat dari tercemarnya Kali Surabaya, tetapi siapa sesungguhnya yang mencemarkan, saksi tidak dapat menentukan, karena pada kenyataannya banyak perusahaan yang membuang air limbah pabriknya ke Kali Surabaya.
Majelis hakim dalam melakukan pemeriksaan perkara telah mengadakan pemeriksaan di lokasi perusahaan dengan konfirmasi keterangan terdakwa sendiri dengan hasil sebagai berikut :
1.      Di lokasi, yang dibuang itu adalah bekas air rendaman kedelai bercampur kulit kedelai yang mengalir melalui saluran-saluran kecil di dalam pabrik menuju septitank.
2.      Tidak ada air yang dibuang setelah kedelai dimasak, karena yang tinggal hanya air kedelai diendapkan menjadi tahu. Ampasnya ditampung pada tempat penampungan untuk dikonsumsi oleh ternak.
3.      Air cucian/rendaman diendapkan di beberapa septitank dialirkan keselokan menuju danau kecil di lokasi perusahaan.
4.      Dalam proses pembuatan tahu tidak menggunakan cuka.
5.      Di sekitar pekarangan pabrik ada beberapa kelompok septitank yang masing-masing berukuran panjang 4m, lebar 3m, dalam 3m, yang dahulu digunakan sebagai bak penampungan/pengendapan, penyaringan dan pembuangan air ke kali. Sekarang tidak di gunakan lagi, karena limbah setelah diendapkan pada kelompok bak penampungan pertama langsung dialirkan ke danau-danau kecil pada lahan di lokasi perusahaan.
6.      Pada kandang babi terdapat 10 kandang.
7.      Limbah air cucian ternak dan kotoran babi dari dalam kandang mengalir ke kiri kanan melalui parit-parit bersemen keselokan besar lebar 2m, dalam 1m, panjang 500m.
8.      Terdapat septitank limbah termasuk ternak babi yang tidak terpakai lagi dan ditutup atas perintah Sekwilda Tingkat II Sidoarjo.
9.      Sekarang tidak ada lagi pembungan limbah dalam keadaan bagaimana pun ke Kali Surabaya karena semua saluran pembuangan ditutup dengan beton semen.
10.  Kedua perusahaan tersebut mempunyai izin dan memenuhi syarat serta ditinjau Sekwilda Kabupaten Sidoarjo.
11.  Air limbah telah dibuatkan bak pengendapan dan tidak benar sampai melebur ke Kali Surabaya, terkecuali jika turun hujan lebat, mau tidak mau terjadi perembesan-perembesan dan masuk ke Kali Surabaya.
12.  Air yang dipergunakan memproses tahu di ambil dari Kali Surabaya berdasarkan surat izin dari Gubernur Jawa Timur yang sudah ada dan telah dimiliki oleh terdakwa.
Selain itu, dalam pemeriksaan perkara diketemukan ketidaksesuaian alat bukti mengenai basarnya BOD dan COD dari limbah tahu. Perbedaan hasil penelitian tersebut membuat Majelis Hakim ragu-ragu terhadap kebenaran dari besarnya BOD dan COD tersebut, sehingga ditetapkan asas In Dubio Pro Reo (putusan yang menguntungkan terdakwa).
Di samping itu, menurut Majelis Hakim, karena tidak adanya hasil penelitian tersendiri tentang akibat yang timbul dari limbah yang dibuang ke kali, maka kasus tersebut tidak dapat dipertanggung jawabkan kepada terdakwa. Oleh karenanya pada tanggal 6 Mei 1989, putusan PN Sidoarjo :
1.      Menyatakan Bambang Goenawan alias Oei Ling Gwat telah melakukan perbuatan membuang limbah industri tahu ke Kali Surabaya, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindakan pidana, yakni tidak menyebabkan tercemarnya lingkungan hidup.
2.      Menyatakan oleh karena itu terdakwa diputus “lepas” dari segala tuntutan hukum.
3.      Membebankan biaya perkara kepada negara.
4.      Menetapkan surat-surat yang diperiksa sebagai alat bukti tetap terlampir dalam berkas.
Berkaitan dengan adanya putusan PN Sidoarjo, Siti Sundari Rangkuti mengatakan bahwa baik jaksa maupun hakim sangat dipengaruhi oleh pemikiran ilmu hukum pidana, sedangkan pledoi penasihat hukum tidak mengandung argumentasi yang mencerminkan penguasaan materi hukum lingkungan. Kepolisisan, kejaksaan dan juga penasihat hukum berpendapat bahwa perbuatan “melanggar baku mutu air limbah” identik dengan “mencemarkan air Kali Surabaya” yang merupakan tindakan pidana lingkungan dan terkena Pasal 22 UULH. Dari sudut pandang yang demikian dapatlah dimengerti, mengapa sampai terjadi perbedaan persepsi dalam proses pemeriksaan perkara “pencemaran” Kali Surabaya tersebut yang dibahas dengan pemikiran Hukum Lingkungan[10]:
Perbuatan terdakwa sesuai dengan pemeriksaan air limbah oleh laboratorium Balai Teknik Kesehatan Lingkungan (BTKL) sebagai saksi ahli, terbukti melanggar Baku Mutu Air Limbah yang ditetapkan dalam Keputusan Gubernur KDH Tingkat I Jawa Timur Nomor 44 Tahun 1987 tentang Penggolongan dan Baku Mutu Air Limbah di Jawa Timur, dan bukan mencemarkan air Kali Surabaya yang tunduk pada Pasal 22 UULH. Air Kali Surabaya yang menjadi cemar akibat perbuatan terdakwa , yaitu korban pencemaran, tidak pernah diajukan sebagai alat bukti untuk syarat pembuktian hubungan kausal antara limbah terdakwa dengan cemarnya air yang merupakan salah satu unsur delik lingkungan. Dengan demikian, pertimbangan hakim tentang asas In Dubio Pro Reo (yang menguntungkan bagi terdakwa) karena perbedaan hasil pemeriksaan tentang besarnya BOD dan COD yang terkandung dalam limbah tahu oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Industri Kanwil Dep. Penindustrian Jawa Timur dengan Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dalam kasus ini, menjadi tidak relevan. Walaupun belum sepenuhnya berlandaskan pemikiran Hukum Lingkungan Kepidanaan, namun putusan Majelis Hakim cukup beralasan, yaitu terdakwa terbukti melakukan perbuatan membuang limbah industri tahu ke Kali Surabaya, tetapi perbutan itu tidak merupakan satu tindak pidana, yakni tidak menyebabkan tercemarnya lingkungan hidup. Terdakwa diputus : lepas dari segala tuntutan hukum. Dapat dimengerti, karena alat buktinya limbah tahu, bukan air Kali Surabaya yang sudah tercemar secara kumulatif. Air mempunyai sifat “self-purification” kalau hanya menerima limbah.

2.5  Penyelesaian pada kasus Kali Surabaya  
Dengan demikian, perbuatan terdakwa merupakan pelanggaran Hukum Lingkungan Administratif, yang sanksinya diatur dalam Pasal 8 Keputusan Gubernur KDH Tingkat I Jawa Timur Nomor 414 tentang Penggolongan dan Baku Mutu Air Limbah di Jatim[11]:
Pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan tersebut dalam keputusan ini dan lampiran keputusan ini dikenakan sanksi berdasarkan Ordonasi Gnagguan (stb. 1926 No. 226), UU No. 4/1982, UU No. 5/1984, dan peraturan pelaksanaannya, serta peraturan berikutnya yang berkaitan dengan lingkungan hidup.
Dari rumusan pasal 8 di atas, jelaslah bahwa sanksi perbuatan mekanggar Baku Mutu Air Limbah tidak diatur sewaktu terjadinya kasus limbah tahu Sidoarjo baik sanksi administrasi maupun sanksi pidana. Semua peraturan hukum yang dimaksud dalam pasal 8 tersebut tidak mengatur tentang perbuatan “ Melanggar Baku Mutu Air Limbah”. Dapat dimengerti, karena pada waktu itu (1987), pembuat peraturan masih dalam proses belajar tentang hukum lingkungan. Hal ini  terbukti dalam hal dari perbedaan pengaturan sanksi yang kemudian diberlakukan terhadap perlanggaran sejenis, yaitu pasal 33 PP No. 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air[12]:
Apabila pembuangan limbah cair melanggar ketentuan Baku Mutu limbah cair yang telah ditetapkan dalam Pasal 15, Gubernur Kepala Daerah Tingkat I mengeluarkan surat peringatan kepada penanggung jawab kegiatan untuk memenuhi persyaratan baku mutu limbah cair dalam waktu yang ditetapkan.
Apabila pada waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pembuangan limbah cair belum mencapai persyaratan naku mutu limbah maka Gubernur Kepala Daerah Tingkat I mencabut izin pembuangan limbah cair.
Dengan berlakunya keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Timur No. 136 Tahun 1994 tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Industri Atau Kegiatan Usaha Lainnya di Jawa Timur, tanggal 21 November 1994, Keputusan Gubernur KDH tingkat I Jawa Timur No. 414 Tahun 1987 dinyatakan tidak berlaku lagi.
Dari ketentuan di atas Siti Sundari Rangkuti menyatakan bahwa perbuatan ”Melanggar Baku Mutu Air Limbah“ penyelesaiannya bukan melalui jalur pengadilan tetapi merupakan pelanggaran hukum lingkungan administratif dengan konsekuensi sanksi administrasi. Dewasa ini perbuatan tersebut tunduk pada pasal 33 PP No.20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air jo. Keputusan Gubernur KDH tungkat I Jawa Timur No. 136 Tahun 1994[13].
Setelah keputusan PN Sidoarjo memutuskan membebaskan terdakwa dari segala hukuman maka Jaksa Penuntut Umum mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Putusan Mahkamah Agung menyatakan mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon kasasi Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Sidoarjo tanggal 6 Mei 1989 No. 122/pid/1988/PN.Sad. Mahkamah Agung dalam putusan rek. 1479/K/pid/1989, tanggal 20 Maret 1993 memutuskan bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan kejahatan “karena kelalaiannya melakukan oerbuatan yang menyebabkan tercemarnya lingkungan hidup“. Kendatipun demikian, terdakwa “hanya” dihukum kurungan 3 (tiga) bulan dengan waktu percobaan 6 (enam) bulan, di samping itu terdakwa juga dihukum dengan pidana denda dengan Rp 1.000.000, 00 (satu juta rupiah).
Berdasarkan putusan Mahkamah Agung tersebut, Siti Sundari Rangkuti mengatakan bahwa perlu dikaji Ratio Decidendi yang melandasi putusan, khususnya masalah pencemaran itu:
1.      MA mengakui bahwa merupakan  kewenangan aparatur tata usaha Negara untuk menentukan batas kadar keamanan untuk masing – masing objek lingkungan yang harus dilindungi. Sehubungan dengan itu, oleh pejabat TUN ditentukan pula standar kadar limbah yang boleh dibuang ke air. Masalahnya adalah mengapa keputusan pejabat TUN yang dilanggar dikenakan sanksi pidana oleh MA?
2.      Pertimbangan MA yang cukup memprihatinkan adalah menimbang bahwa walaupun secara individu membuang limbah melebihi yang diperbolehkan An sich memang baru merupakan perbuatan yang potensial dapat mencemarkan lingkungan, namun hal itu tidak berlaku dalam perkara ini, karena dalam perkara ini kesalahan terdakwa merupakan satu dari sekian banyak perusahaan yang membuang limbahnya ke sungai itu, maka pembuangan limbah yang melampaui ambang batas yang diperbolehkan yang dilakukan terdakwa (yang ternyata bersama – sama dengan perusahaan lain itu) harus dianggap mencemarkan air sungai tersebut.
3.      MA berpendapat bahwa, berdasarkan keterangan – keterangan terdakwa, saksi – saksi serta bukti surat – surat yang dihasilkan dalam persidangan, terdakwa harus dinyatakan telah terbukti lalai memenuhi syarat- syarat pembuangan limbah yang baik dengan demikian, terdakwa harus dinyatakan terbukti akan dakwaan subsidair.
Dari berkas perkara putusan MA termaksud, tidak ditemukan argumentasi hukum lingkungan bahwa karena kelalaiannya terdakwa terbukti melakukan perbuatan menyebabkan tercemarnya air kali yang pembuktiannya menyimpang dari pasal 183 KUHAP yang berbunyi: “hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurang nya 2 alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa sesuatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Sampai sekarang belum ada aturan hukum yang menyatakan bahwa perbuatan melanggar Baku Mutu Air Limbah adalah tindak pidana, yang berarti terdakwa tidak melakukan delik lingkungan, sehingga dapat dikatakan bahwa MA melanggar asas legalitas
(pasal 1 KUHP).
Menurut Siti Sundari Rangkuti[14], sebenarnya kasus Sidoarjo dapat diproses sebagai perkara pidana pencemaran air Kali Surabaya dengan syarat agar unsur-unsur delik lingkungan sebagai delik materiil berhasil dibuktikan. Untuk dapat dijadikan alat bukti adalah air Kali Surabaya, bukan air limbah tahu sehingga dapat dibuktikan unsur hubungan kausal antara perbuatan terdakwa dengan tercemarnya air Kali Surabaya. Dasar hukum yang berlaku adalah keputusan Gubernur KDH Tingkat I Jawa Timur No. 413 Tahun 1987 tentang Penggolongan dan Baku Mutu Air di Jawa Timur. Prosedur pembuktian didasarkan pada baku mutu air sebelum limbah tahu dibuang. Apabila setelah air limbah tahu di buang ke Kali Surabaya, penggolongan dan baku mutu air berubah menjadi turun kualitasnya, melalui ketentuan dalam keputusan Gubernur KDH Tingkat I Jawa Timur No. 413 Tahun 1987, maka dapat dikatakan bahwa perbuatan terdakwa melanggar pasal UULH (sekarang pasal 41-44 UULPH) tentang Tindak Pidana Lingkungan. Sebagaimana diketahui, delik lingkungan hanya menyangkut perbuatan konkret yang dikenal dengan istilah strafbaar feit.
Dengan mengkaji putusan MA tentang kasus limbah tahu di atas sebagai bahan pemikiran dapatlah dikemukakan bahwa putusan MA itu :
1.      Melanggar asas legalitas.
2.      Melanggar baku mutu air limbah tanpa dasar hukum yang konkrit yang dinyatakan sebagai delik.
3.      Pengertian delik pencemaran air dalam pasal 22 UULH tidak dikaitkan dengan pasal 1 angka 7 UULH;
4.      Tidak sesuai dengan pasal 183 KUHAP tentang alat bukti.














BAB III
PENUTUP
3.1    Kesimpulan
Penataan hukum lingkungan di Indonesia khususnya dalam hal penegakannya masih belum efektif terbukti dengan adanya pembuangan limbah industri yang dilakukan oleh PT. Marimas di Semarang yang mengakibatkan tercemarnya air yang berada di lingkungan sekitar pabrik  yang menimbulkan keresahan warga sekitar. Padahal air merupakan hal yang sangat penting dalam menunjang kehidupan manusia. Padahal ada banyak sekali langkah penegakan hukum yang dapat dilakukan mulai dari saksi administrative, sanksi keperdataan dan sanski kepidanaan. Sebab dalam menerapkan saksi hukum sebaiknya dijatuhkan sanksi yang tepat serta dapat mencakup komposisi dari fungsi hukum itu sendiri seperti kepastian, kemafaatan, dan keadilan serta tidak menimbulkan kerasahan pada masyarakat.

3.2    Saran
  Pemerintah seharusnya lebih menaruh perhatian lagi dalam upaya pengelolaan maupun pelestarian lingkungan hidup. Tidak hanya sekedar dalam pembuatan regulasi atau peraturan perundang-undangan saja tetapi juga pada pengawasan penegakannya, terutama pada proses penegakan di dalam pengadilan. Jangan sampai terjadi majelis hakim di suatu peradilan dapat lalai dalam memutus suatu perkara karena perbedaan penafsiran hukum atau peraturan perundang-undangan. Mungkin perlu ditunjuk majelis hakim yang tidak hanya berkompeten di bidang hukum tetapi juga memiliki kepedulian terhadap lingkungan yang tinggi.





DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR BUKU
Muhamad, Erwin. 2011. Hukum Lingkungan : Dalam Sistem Kebijaksanaan Pembangunan Lingkungan Hidup. Bandung: PT Refika Aditama
Rangkuti, Siti Sundari. 1986. Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan dalam Proses Pembangunan Nasional,(Disertasi). Surabaya: Fakultas Pascasarjana Universitas Airlangga.
Salim, Emil. 1985. Lingkungan Hidup Dan Pembangunan. Jakarta: PT Mutiara Offset
Sastrawijawa, A. Tresna. 2000. Pencemaran Lingkungan. Jakarta: PT Asdi Mahasatya
Sudikno, Mertokusumo. 1988. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Yogyakarta: Liberty.
Sunu, Pramudya. 2001. Melindungi Lingkungan Dengan Menerapkan ISO 14001Jakarta : PT Grasindo
Supriadi. 2006. Hukum Lingkungan Indonesia. Jakarta : PT Grafika Offset
Wijoyo, Suparto. 1999. Penyelesaian Sengketa Lingkungan (Setelement of Environmental Dispute). Surabaya: Airlangga University Press.


DAFTAR UNDANG-UNDANG

Undang-Undang No. 32 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Undang-Undang No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
PP No. 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air



[1]Lihat, Penjelasan Umum Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
[2] Lihat, Pasal 1 angka 20 Umum Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
[3] Lihat, Pasal 1 angka 1 Umum Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
[4]Lihat, Pasal 1 angka 14 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkunagan Hidup.

[5] Sudikno, Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 1988, hlm. 134-135.
[6]Ibid., hlm. 113.
[7]Ibid., hlm. 117.
[8]Ibid., hlm. 113
[9]Ibid., hlm. 118.
[10] Ibid., hlm: 224-225


[11] Lihat, Pasal 8 Keputusan Gubernur KDH Tingkat I Jawa Timur Nomor 414 tentang Penggolongan dan Baku Mutu Air Limbah
[12] Lihat, Pasal 33 PP No. 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air
[13] Ibid., hlm. 226
[14]Ibid., hlm. 228

Tidak ada komentar:

Posting Komentar